UMA (Rumah Tradisional Masyarakat Mentawai)
Oleh: Palikerei Sarokdog
Oleh: Palikerei Sarokdog
Uma sebagai hunian tradisional di Mentawai kini kian terpinggirkan. Tidak banyak lagi masyarakat Mentawai yang tinggal di Uma terutama di Pulau Sipora dan Pagai Utara ataupun Selatan. Uma masih bisa ditemukan di Pulau Siberut terutama di sepanjang aliran sungai Silaoinan.
Uma yang merupakan pola permukiman atau perkampungan bagi tiap suku yang ada di Mentawai. Di aliran sungai Silaoinan, terdapat sejumlah uma dari beberapa suku diantaranya Uma Tetebburuk, Sabeileppa’ dan Sagulu.
Secara fisik, Uma berbentuk rumah panggung dengan ukuran relative besar dan memanjang ke belakang. Uma harus dibuat berukuran besar sebab Uma tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal namun juga menjadi ntempat berkumpul dan bermusyawarah bagi seluruh anggota suku. Di Uma juga biasa digelar pesta adat (punen).
Di sekitar Uma, biasanya juga berdiri rumah-rumah lain yang lebih kecil dan sederhana yang disebut sapou atau lalep. Setiap sapou atau lalep dihuni satu keluarga inti yang merupakan anggota Uma.
Dalam proses mendirikan Uma, orang Mentawai tidak menggunakan paku. Kekuatan konstruksi didapat dari sistem sambungan silang bertakik dan sambungan berpasak yang piawai.
Langkah awal sebelum mendirikan Uma, dilakukan panaki yakni ritual meminta izin pada roh-roh di sekitar hutan di lokasi Uma yang akan didirikan. Setelah ritual panaki dilakukan, maka dilanjutkan dengan mengumpulkan bahan-bahan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan pria dewasa, bahan yang dikumpulkan antara lain kayu pohon yang dianggap bagus dan kuat untuk dijadikan tonggak dan papan. Sementara kulit pohon dapat dijadikan dinding Uma. Penebangan pohon dilakukan selektif dan dipilih jenis, besar dan kekuatannya.
Alat yang digunakan untuk menirikan Uma diantaranya oggut (beliung atau kampak untuk menebang pohon), tegge (parang) untuk memotong bahan-bahan dari bamboo atau pohon, tainuktuk (sejenis pahat untuk melubangi kayu atau tonggak), balugui (pisau kecil untuk meraut rotan), panusru (ketam kayu berbentuk seperti oggut).
Pendirian Uma dilakukan tiga tahap; pertama pendirian pondasi dan kerangka. Yang pertama dikerjakan adalah mendirikan tonggak sebagai pondasi Uma. Ada dua ukuran tonggak yaitu tonggak besar danpanjang (uggla) dan tonggak pendek (tumandei). Kedua tonggak dibuat dari batang pohon yang kuat dan tahan air. Setelah pemancangan uggla, dilanjutkan dengan memasang pagetaet, lalu tumandei dan diteruskan memasang po’po’. Selanjutnya memasang kerangka bagian atas Uma yaitu bai-bai, kemanen, siaukenen dan bubuk.
Tahap kedua, pemasangan atap (tobat), lantai (batlelengan) dan dinding (bagian samping dan belakang). Tobat biasanya dibuat dari daun sagu, bamboo dan rotan. Sementara bahan untuk lantai berasal dari pohon ariribuk. Pemasangan dinding dilakukan searah jarum jam yaitu dimulai dari sisi sebelah kanan, lalu bagian belakang dan diteruskan sisi sebelah kiri.
Tahap ketiga, pemasangan dinding bagian depan dan lantai Uma. Bagian terakhir membuat gare, sau-sau (pintu Uma), sabbau dan sailau.
Setelah pembuatan Uma selesai diadakan punen sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan karena semua proses pembanguna Uma telah selesai. Selain itu punen ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan seluruh anggota Uma. Punen Uma diadakan dengan berbagai ritual yang dipimpin Sikebbukat Uma. Ritual pertama adalah pasibitbit atau pengusiran roh-roh jahat. Setelah pasibitbit, dilakukan panaki yakni ritual meminta izin pada rohroh untuk mengadakan pesta agar roh-roh tersebut tidak menganggu pesta mereka. Pada saat itu juga dipasang kinumbuk yang fungsinya untuk melakukan upacara panaki selanjutnya.
Setelah itu diadakan upacara Katugurut Uma yaitu upacara menempati Uma baru. Pesta diadakan beberapa hari dimana hari terakhir diadakan liatlajuk dimana sikebbukat uma memberkati daun-daun yang biasa ditanam sebagai mata pencarian seperti daun nilam, daun sagu.
Pada malam harinya, kaum perempuan pergi pangisau atau mencari ikan di sungai sementara para laki-laki berburu monyet atau rusa ke hutan. Hasil buruan lalu diperiksa, jika bagian jantungnya dinilai member pertanda baik, maka hewan buruan dibawa pulang, jika tidak maka perburuan dilanjutkan. Daging binatang hasil buruan disimpan untuk dimakan bersama anggota Uma sementara daging binatang yang membawa pertanda baik diberikan kepada anak lelaki yang belum menjalani eneget (pengenalan kegiatan berburu bagi anak laki-laki).
Seluruh tengkorak buruan yang didapat lalu dipajang di abak manang yang akan menjadi symbol suku dalam berburu.
Uma yang merupakan pola permukiman atau perkampungan bagi tiap suku yang ada di Mentawai. Di aliran sungai Silaoinan, terdapat sejumlah uma dari beberapa suku diantaranya Uma Tetebburuk, Sabeileppa’ dan Sagulu.
Secara fisik, Uma berbentuk rumah panggung dengan ukuran relative besar dan memanjang ke belakang. Uma harus dibuat berukuran besar sebab Uma tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal namun juga menjadi ntempat berkumpul dan bermusyawarah bagi seluruh anggota suku. Di Uma juga biasa digelar pesta adat (punen).
Di sekitar Uma, biasanya juga berdiri rumah-rumah lain yang lebih kecil dan sederhana yang disebut sapou atau lalep. Setiap sapou atau lalep dihuni satu keluarga inti yang merupakan anggota Uma.
Dalam proses mendirikan Uma, orang Mentawai tidak menggunakan paku. Kekuatan konstruksi didapat dari sistem sambungan silang bertakik dan sambungan berpasak yang piawai.
Langkah awal sebelum mendirikan Uma, dilakukan panaki yakni ritual meminta izin pada roh-roh di sekitar hutan di lokasi Uma yang akan didirikan. Setelah ritual panaki dilakukan, maka dilanjutkan dengan mengumpulkan bahan-bahan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan pria dewasa, bahan yang dikumpulkan antara lain kayu pohon yang dianggap bagus dan kuat untuk dijadikan tonggak dan papan. Sementara kulit pohon dapat dijadikan dinding Uma. Penebangan pohon dilakukan selektif dan dipilih jenis, besar dan kekuatannya.
Alat yang digunakan untuk menirikan Uma diantaranya oggut (beliung atau kampak untuk menebang pohon), tegge (parang) untuk memotong bahan-bahan dari bamboo atau pohon, tainuktuk (sejenis pahat untuk melubangi kayu atau tonggak), balugui (pisau kecil untuk meraut rotan), panusru (ketam kayu berbentuk seperti oggut).
Pendirian Uma dilakukan tiga tahap; pertama pendirian pondasi dan kerangka. Yang pertama dikerjakan adalah mendirikan tonggak sebagai pondasi Uma. Ada dua ukuran tonggak yaitu tonggak besar danpanjang (uggla) dan tonggak pendek (tumandei). Kedua tonggak dibuat dari batang pohon yang kuat dan tahan air. Setelah pemancangan uggla, dilanjutkan dengan memasang pagetaet, lalu tumandei dan diteruskan memasang po’po’. Selanjutnya memasang kerangka bagian atas Uma yaitu bai-bai, kemanen, siaukenen dan bubuk.
Tahap kedua, pemasangan atap (tobat), lantai (batlelengan) dan dinding (bagian samping dan belakang). Tobat biasanya dibuat dari daun sagu, bamboo dan rotan. Sementara bahan untuk lantai berasal dari pohon ariribuk. Pemasangan dinding dilakukan searah jarum jam yaitu dimulai dari sisi sebelah kanan, lalu bagian belakang dan diteruskan sisi sebelah kiri.
Tahap ketiga, pemasangan dinding bagian depan dan lantai Uma. Bagian terakhir membuat gare, sau-sau (pintu Uma), sabbau dan sailau.
Setelah pembuatan Uma selesai diadakan punen sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan karena semua proses pembanguna Uma telah selesai. Selain itu punen ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan seluruh anggota Uma. Punen Uma diadakan dengan berbagai ritual yang dipimpin Sikebbukat Uma. Ritual pertama adalah pasibitbit atau pengusiran roh-roh jahat. Setelah pasibitbit, dilakukan panaki yakni ritual meminta izin pada rohroh untuk mengadakan pesta agar roh-roh tersebut tidak menganggu pesta mereka. Pada saat itu juga dipasang kinumbuk yang fungsinya untuk melakukan upacara panaki selanjutnya.
Setelah itu diadakan upacara Katugurut Uma yaitu upacara menempati Uma baru. Pesta diadakan beberapa hari dimana hari terakhir diadakan liatlajuk dimana sikebbukat uma memberkati daun-daun yang biasa ditanam sebagai mata pencarian seperti daun nilam, daun sagu.
Pada malam harinya, kaum perempuan pergi pangisau atau mencari ikan di sungai sementara para laki-laki berburu monyet atau rusa ke hutan. Hasil buruan lalu diperiksa, jika bagian jantungnya dinilai member pertanda baik, maka hewan buruan dibawa pulang, jika tidak maka perburuan dilanjutkan. Daging binatang hasil buruan disimpan untuk dimakan bersama anggota Uma sementara daging binatang yang membawa pertanda baik diberikan kepada anak lelaki yang belum menjalani eneget (pengenalan kegiatan berburu bagi anak laki-laki).
Seluruh tengkorak buruan yang didapat lalu dipajang di abak manang yang akan menjadi symbol suku dalam berburu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar